Wahai orang beriman!. jangan pernah katakan " Ya Allah sesunggunhya Masalah ini sangat besar ". Tapi katakanlah, " Masalah sesunggunhya Allah itu Maha Besar "

Google Search

Selasa, 20 Maret 2012

PAHAM-PAHAM YANG MENYEBARLUAS DI INDONESIA

PAHAM-PAHAM YANG MENYEBARLUAS DI INDONESIA

1. Pluralisme



Rene Guénon
Pelopor Filsafat Abadi
Rene Guénon lahir di Blois, Perancis pada tanggal 15 November 1886. Sejak umur 18 tahun ia sudah mulai mempelajari agama-agama Timur, khususnya Hinduisme, Taoisme dan Islam. Tahun 1906 ia pergi ke Paris, di sana ia masuk ke sekolah Free School of Hermetic Scienses yang didirikan oleh Gerard Encausse, seorang tokoh freemason dan pendiri masyarakat teosofi di Perancis.
Di sekolah ini Guénon intensif mengkaji hal-hal berbau mistis. Di sekolah ini pula Guénon berkenalan denga sejumlah tokoh Freemason, Teosofi dan berbagai gerakan spiritual lainnya. Guénon sangat tertarik dengan gerakan-gerakan semacam ini, hingga ia aktif menggelar berbagai kongres, seminar, diskusi, dan aktifitas tentang mistis dan freemason. Ringkasnya freemason merupakan ketertarikan Guénon yang pa ling besar sepanjang hidupnya. Karena bagi Guénon freemason adalah wadah dari hikmah tradisional yang luas, dan kaya dalam simbolisme serta ritual. Guénon juga yakin bahwa freemason adalah cara terbaik untuk menjaga banyak aspek dari agama Kristen yang telah hilang dan terabaikan.
Tahun 1912 Guénon mulai tertarik dengan sufisme, dan akhirnya memeluk Islam dengan nama Abd al-Wahid Yahya. Ia tetap gandrung terhadap mistis. Tahun 1930 Guénon pergi ke Mesir untuk meneliti dan mempelajari teks -teks sufi. Sejak itu ia menetap di Mesir hingga meninggal pada tang gal 7 Januari 1951.
Pemikiran utama Guénon adalah filsafat abadi (perenialisme). Menurutnya filsafat abadi adalah ilmu spiritual yang memiliki keutamaan dibanding ilmu lainnya. Meskipun ilmu-ilmu lain harus tetap dicari, namun ia hanya akan bermakna dan bermanfaat jika dikaitkan dengan ilmu spiritual ini. Menurutnya substansi ilmu spiritual bersumber dari supranatural dan transenden serta bersifat universal. Oleh sebab itu, ilmu tersebut tidak dibatasi oleh suatu kelompok agama atau kepercayaan tertentu. Ia adalah milik bersama semua agama dan kepercayaan yang ada.
Adapun perbedaan teknis yang terjadi pada setiap agama dan kepercayaan merupakan jalan dan cara yang berbeda untuk merealisasikan “Kebenaran yang satu”. Pebedaan ter sebut menurutnya sah-sah saja, karena setiap agama me miliki cara yang unik untuk memahami Realitas Akhir. Maka se bagai hasil dari pengalaman spiritualnya dalam gerakan teo sofi dan freemason, Guénon menyimpulkan bahwa semua aga ma memiliki kebenaran dan bersatu pada level batin (eso teris), sekalipun pada level lahir (eksoteris) berbeda-beda.
Karena keyakinannya itu Guénon kemudian berusaha menghidupkan kembali filsafat abadi yang menurutnya telah banyak hilang digerus arus modernisasi. Tak heran jika Nasr me nyebut Guénon bersama dengan Fritjhof Schuon dan Anan da Coomaraswamy sebagai Para Guru (The Mas ters) da lam bidang filsafat abadi atau biasa disebut juga filsafat perennial.
Karya-karyanya banyak ditulis dalam bahasa Perancis, sebagian telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Diantaranya: the symbolism of the cross, the crisis of the modern world dan the multiple states of being.
Selanjutnya pemikiran-pemikiran agama atau kepercayaan mengenai Filsafat Abadi ini banyak diikuti oleh kaum Pluralis Agama. Salah seorang yang paling terkenal adalah Fritjhof Schuon yang dikemudian hari terkenal dengan teori Kesatuan Transenden Agama- agama.
Frithjof Schuon
Pengusung ide “Kesatuan Transenden Agama-agama”
Kesatuan Transenden Agamaagama” adalah salah satu teori besar dalam wacana Pluralisme Agama. Tokoh utamanya adalah Frithjof Schuon, seorang cendekiawan berkebangsaan Jerman yang oleh Seyyed Hossein Nasr dianggap sebagai orang yang paling otoritatif dalam masalah ini. Dengan teorinya itu Schuon yang kelahiran Basel, Swiss, tanggal 18 Juni 1907 ini berkeyakinan bahwa sekalipun pada tataran luarnya agama berbeda-beda, namun pada hakikatnya semua agama adalah sama. Dengan kata lain, kesatuan agama-agama itu terjadi pada level transenden.
Keyakinan Schuon diatas berangkat dari pandangannya bahwa semua agama mempunyai dua realitas atau hakikat, yaitu eksoteris dan esoteris. Hakikat eksoteris adalah hakikat lahir, dimana pada level ini semua agama memiliki dogma, hukum, ritual dan keyakinan yang berbeda-beda, dan bahkan saling bertentangan. Sementara hakikat esoteris adalah hakikat batin, dimana semua agama dengan segala perbedaan dan pertentangannya tadi bertemu. Disinilah terletak titik temu agama-agama itu. Jadi level eksoteris bagaikan ‘badan’ agama sementara level esoteris adalah ‘hati’ dari agama. Level eksoteris berbeda-beda, namun level esoteris adalah sama. Karena itulah Schuon menyebut teorinya ini dengan ‘the transcendent unity of religions’ (kesatuan transenden agama-agama).
Sehingga dengan demikian, dalam pandangan Schuon, semua agama dipisahkan bukan dengan sebuah garis vertikal, tapi justru dengan sebuah garis horizontal yang membelah semua agama. Garis itu tidak memisahkan antara agama yang satu dengan agama lainnya, tapi memisahkan antara le vel bawah (eksoteris) semua agama dengan level atas (esote ris) nya. Semua ini menurut Schuon menunjukan bahwa yang mutlak atau absolut dalam semua agama adalah dimensi esoterisnya. Sementara dimensi eksoterisnya harus bersifat relative untuk berkoeksistensi dengan agama-agama lainnya.
Dalam konteks pandangan Schuon terhadap keberagaman agama ini, pernyataan tentang superioritas agama tertentu di atas yang lain secara teoritis menjadi tidak relevan. Sebab semua agama adalah orisinil dan berasal dari sumber yang sama. Namun disisi lain, keberagaman bentuk luar (eksoteris) agama-agama tadi tidak boleh dirubah-rubah atau dilebur (sinkretis), tapi harus dibiarkan apa adanya, karena titik temu agama-agama bukan berada pada level itu, tapi berada pada level batin (esoteris).
Menurut peneliti INSISTS, Adnin Armas, pemikiran Schuon tentang titik temu agama-agama pada level esoteris ini secara konseptual masih bermasalah. Sebab pada tingkat esoteris-pun terdapat perbedaan antara Islam dengan agama-agama lainnya. Ini terbukti dari adanya ajaran Islam yang menunjukan kesalahan-kesalahan agama lain, baik pada level eksoteris maupun pada level esoteris.
Masih menurut Adnin, pemikiran Schuon ini juga agak sulit untuk dimengerti karena merupakan produk dari pengalamannya ketika terlibat dalam kehidupan agama-agama. Karenanya pengalaman itu bukanlah agama itu sendiri sebab pengalaman seperti itu tidak dapat diturunkan kepada manusia lainnya, ia hanya dapat diraih oleh orang-orang tertentu dari setiap agama. Jadi kesatuan transenden agama-agama seperti itu tidak dapat disebut sebagai agama, namun hanya merupakan pengalaman keagamaan. Sehingga konsep Schuon itu menurut Adnin harusnya diubah menjadi ‘Kesatuan transenden pengalaman-pengalaman keagamaan’.
Pengalaman Schuon dalam beragama memang cukup panjang. Awalnya ia seorang Kristen, kemudian dikabarkan memeluk Islam dan berganti nama menjadi Isa Nuruddin Ahmad al-Shadhili al-Darquwi al-Alwi al-Maryami. Namun tidak terdapat banyak data mengenai kebenaran dan kapan persisnya ia masuk Islam. Yang pasti, Schuon pernah berkunjung ke Aljazair dan Afrika Utara, dan disana ia tertarik dengan sufisme, bahkan menjadi murid Syaikh al-Alwi seorang syaikh sufi di sana-. Tiga tahun kemudian Schuon kembali berkunjung ke Aljazair dan Maroko.
Schuon yang menikah tahun 1949 dengan seorang pelukis keturunan Swiss-Jerman ini juga sempat mengunjungi India dan Mesir. Tak heran jika karya-karya klasik dari timur seperti Upanishad, Bhagavad – Gita dan Seribu Satu Malam sangat menarik perhatian dan mempengaruhi pemikirannya. Schuon juga sempat berkunjung ke Amerika Barat atas undangan teman mereka yang bersuku Indian Sioux dan Crow.
Tahun 1980 Schuon dan istrinya beremigrasi ke Indiana, Amerika Serikat. Akhirnya ia meninggal dunia pada tahun 1998 di Bloomington dengan meninggalkan 20-an lebih karya. Meskipun masih bermaslah, sayangnya, pemikirannya dipuji dan diikuti oleh banyak intelektual bertaraf internasional dan lintas agama.
John Hick
Penggagas Teologi Global
Menurut Dr. Anis Malik Thoha, Prof. John Hick merupakan tokoh terbesar dan terpenting dalam wacana Pluralisme Agama. Sebab, da adalah orang yang paling banyak menguras tenaga dan fikiran untuk mengembangkan, menjelaskan dan menginterpretasikan gagasan dan teori ini secara masif. Dengan usahanya inilah wacana pluralisme agama dapat dikenalkan kepada masyarakat secara umum. Ia memiliki banyak karya, kebanyakan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Lebih dari dua puluh buku tentangnya telah diterbitkan dalam bahasa Inggris, Jerman, Perancis, Cina dan Jepang.
Professor John Harwood Hick, lahir di Yorkshire, Inggris, tahun 1922, mendapat gelar doktor dari Universitas Oxford dan Universitas Edinburgh. Ia juga mendapat gelar doktor kehormatan dari Universitas Uppsala dan Universitas Glasgow. Pernah menjabat Wakil Presiden the British Society for the Philosophy of Religion and of the World Congress of Faiths. Kisah hidupnya ditulis dalam sebuah buku berjudul John Hick: An Autobiography (2002).
Teori pluralisme agama Hick bermula dari pandangannya terhadap globalisasi. Menurutnya, seiring dengan arus globalisasi, maka secara gradual akan terjadi proses penyatuan (konvergensi) cara-cara beragama, sehingga pada suatu ketika agama-agama akan lebih menyerupai sekte daripada entitas-entitas yang eksklusif secara radikal. Hick kemudian menamakan agama yang telah bersatu itu dengan global theology (teologi global).
Untuk mencapai hal itu Hick menawarkan sebuah gagasan yang ia sebuat dengan, “Transformasi orientasi dari pemusatan ‘agama’ menuju pemusatan ‘Tuhan’ /The transformation from self-centredness to Reality – centredness”. Teori Hick ini mengatakan bahwa agama-agama hanyalah bentuk-bentuk yang beragam dan berbeda dalam konteks tradisi-tradisi historis yang beragam di seluruh dunia. Ini semua terbentuk sebagai akibat dari pengalaman spiritual manusia dalam merespon Realitas yang absolut.
Realitas yang absolute itu menurut Hick adalah Tuhan yang sesungguhnya yang ia sebut dengan istilah “The Real Yang Absolut”. Sementara Tuhan-tuhan yang ada pada setiap agama dan kepercayaan, dianggap Hick sebagai Tuhantuhan realtif karena hanya merupakan imej masing-masing pemeluk agama terhadap The Real Yang Absolut tadi. Jadi The Real itu pada dasarnya satu dan sama. Hanya saja ditangkap oleh pengalaman manusia dengan berbagai konsep dan image menurut konteks-konteks tradisional yang berbeda sehingga menghasilkan imej Tuhan yang berbedabeda pula.
Dengan teori Hick ini maka terjadilah perubahan besar dalam semua agama. Islam misalnya, yang sebelumnya merupakan satu-satunya jalan keselamatan yang absolute, telah mengalami perubahan yang sangat besar menjadi hanya satu dari sekian banyak jalan-jalan keselamatan yang ada.
Dengan demikian upaya mempermasalahkan benar (haq) dan salah (bathil) terhadap agama-agama menjadi tidak lagi relevan dan tepat. Karena dengan teorinya ini Hick hendak menegaskan bahwa jalan keselamatan tidaklah tunggal dan monolitik, melainkan plural dan beragam sesuai dengan jumlah tradisi-tradisi atau ajaran-ajaran yang ada. Hick sering menggambarkan teorinya ini dengan menukil secara bebas perkataan Jalaluddin Rumi, “The lamps are different, but the Light is the same.” (Walaupun lampu-lampunya berbeda tapi Cahayanya sama). Dalam kitab suci Hindu, Bhagavad Gita, Hick juga menemukan kalimat “Whatever path men choose is mine” (Jalan apapun yang dipilih manusia adalah milik-Ku).
Teori Hick ini menurut Anis Malik Thoha sebetulnya sangatlah lemah. Sebab jika Hick mengatakan bahwa Tuhan yang diyakini umat Islam dan Tuhan yang diyakini pemeluk agama lain adalah sama relatifnya karena merupakan respon yang berbeda-beda terhadap The Real, maka siapakah yang menentukan bahwa Tuhan-tuhan itu relative?. Jika yang menentukan itu adalah Hick sendiri, bukankah pemikiran Hick itu juga adalah relative?. Jika kemudian Hick bersikeras mengatakan bahwa pandangannya sendirilah yang benar secara absolute sementara pandangan lainnya salah, maka runtuhlah teori Hick ini dengan sendirinya. Karena jika Hick beranggapan demikian, maka orang lain pun berhak menga takan pendapatnya yang benar.
Selain itu menurut Anis, Hick telah melakukan kebohongan intelektual dengan mengutip perkataan Rumi sepotongsepotong, sehingga seolah-olah mendukung gagasannya itu. Padahal jika dibaca secara utuh, perkataan Rumi itu justru menegaskan bahwa terdapat perbedaan antara orang beriman dan pemeluk agama lain. Sebab tulisan Rumi selanjutnya adalah, “Dari pemandangan yang objektif, Wahai Yang Maha Wujud, lahirlah perbedaan antara orang beriman yang sebenarnya dan orang Zoroaster dan Yahudi.” (Lihat, Dr. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, 2006).
2. Liberalisme

Islam dan Liberalisme di Indonesia


 
 
 
 
 
Forum Freedom 36, 23 Januari 2006
Bagaimana kaum liberal Indonesia mengkaji berbagai masalah nyata yang ada di tengah kita? Freedom Institute bekerja sama dengan radio 68H menyajikan Forum Freedom…
Hamid Basyaib:
Halo, selamat pagi saudara, Anda berjumpa lagi dengan saya Hamid Basyaib dalam acara Forum Freedom. Acara ini merupakan hasil kerja sama antara Freedom Institute dan Radio 68H dan dipancarkan ke beberapa puluh radio lain di seluruh Indonesia. Tamu kita pagi ini adalah Luthfi Assyaukanie. Selamat pagi, Luth.
Luthfi Assyaukanie:
Selamat pagi.
Hamid Basyaib:
Luthfi, barui saja pulang dari Australia. Dia sekolah di University of Melbourne. Dia sudah menyelesaikan tesis dan disertasi PhD. Nah, disertasinya berhubungan dengan tema kita pagi ini, yaitu “Akar-akar Liberalisme di Dalam Islam”. Kebetulan Luthfi adalah direktur lembaga Religious Reform Project, satau lembaga baru yang disingkat Repro.
Saya akan mulai dengan proposisi yang sederhana yaitu bahwa Islam sebagai sebuah sistem keyakinan mengklaim bahwa dia membawa ide kebebaasan bagi manusia, terlepas dari jenis kelamin, ras, budaya, dan lain sebagainya. Tetapi, kita lihat dalam sejarahnya, di tempat-tempat di mana Islam menjadi agama yang dominan seringkali masyarakatnya kurang menghargai kebebasan. Baik kebebasan berpikir, berpendapat atau kebebsan yang lainnya. Juga cirinya adalah men-subordinasikan kaum perempuan, membungkam hak asasi manusia dan tidak demokratis. Contohnya terlalu banyak. Sampai hari ini kita bisa saksikan praktis di lebih dari 20 negara di Timur Tengah yang didominasi oleh umat Muslim, keadaannya HAM-nya selalu merupakan catatan yang buruk di mata internasional.
Nah, melihat fenomena ini, banyak pemikir Islam yang menganggap bahwa Islam tidak kompatibel atau tidak cocok dengan prinsip-prinsip HAM, demokrasi, dan kebebasan. Mereka umumnya melihat Islam sebagai agama yang sangat ketat dan kaku, dan tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat modern yang menjunjung tinggi pluralisme, toleransi, kebebasan berpikir, dan lain sebagainya.
Saya akan mulai bertanya pada bung Luthfi. Anda menulis disertasi mengenai tema ini, dan Islam dan liberalisme belakangan dianggap sebagai dua hal yang saling bertentangan, baik oleh kalangan di luar Islam maupun dari kalangan Islam sendiri. Nah, bagaimana pandangan Anda menganai hal ini?
Luthfi Assyaukanie:
Sebelum kita membahas persoalan itu, sebenarnya istilah liberalisme itu adalah istilah yang ambigu dan cukup kontroversial. Dan, kalau kita berbicara tentang liberalisme, sebenarnya kita sedang mengidentifikasi suatu fenomena. Dan, fenomena tersebut adalah fenomena kebangkitan di dalam Islam. Dan, kebangkitan Islam itu sudah dimulai pada abad 19.
Pada 1950-an, ketika para sarjana Barat mualai mengaji Islam, mereka agak kerepotan karena menemukan suatu fenomena yang menarik di dalam pembaruan ini yang berbeda dari gerakan tajdid yang terjadi sebelumnya. Tajdid adalah sesuatu yang baru, pembaruan atau membarukan ajaran-ajaran Islam. Tentu saja tajdid ini sudah terjadi sejak lama, sejak masa awal Islam. Mazhab-mazhab pemikiran Islam itu muncul karena adanya pembaruan. Tetapi para sarjana modern menemukan kelainan cara 
3. Kapitalisme
Umat Islam selalu saja ditempatkan sebagai tertuduh oleh pihak Barat dan pendukungnya setiap ada peristiwa pemboman dan lainnya. Ada proses generalisasi yang sangat sistemik untuk mencitrakan Islam agar buruk di mata warga dunia. Padahal kalau mau jujur, Islam sebenarnya belum bisa berbuat banyak dalam kancah kehidupan dunia. Justru kapitalisme-lah yang menjadikan dunia kian karut marut. Tapi kenapa tudingan justru ke Islam? Untuk mengupasnya, wartawan Media Umat Joko Prasetyo mewawancarai Ketua Lajnah Siyasiyah Dewan Pimpinan Pusat Hizbut Tahrir Indonesia Farid Wadjdi. Berikut petikannya.
Menurut Anda, mengapa SBY begitu sigap merespon isu terorisme dibanding kasus lainnya yang jauh lebih banyak memakan korban?
Karena isu teroris dapat digunakan untuk memperkuat posisinya dalam beberapa hal. Pertama, posisinya di dunia internasional. SBY ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah kepala negara yang sigap memerangi terorisme yang merupakan agenda utama politik luar negeri Amerika.
Kedua, isu terorisme ini sangat mungkin digunakan untuk mengalihkan persoalan-persoalan yang sekarang ini sedang menimpa partai berkuasa, yang merupakan partainya SBY sendiri.
Jadi kita lihat kesigapan SBY ini karena kasus ini memberikan keuntungan bagi SBY untuk memperkuat posisinya.
Apakah Anda juga melihat adanya monsterisasi kasus terorisme ini?
Upaya monsterisasi itu sangat jelas kita rasakan. Dan monsterisasi ini sangat penting dalam isu war on terorism (WOT). WOT tidak akan laku dijual kalau terorisme itu tidak dianggap sebagai sebuah ancaman yang besar.
Karena itu, penting membuat persepsi bahwa terorisme itu merupakan ancaman yang sangat membahayakan. Untuk itu, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk monsterisasi itu, di antaranya dengan mengait-kaitkan pelaku pemboman dengan kelompok-kelompok yang ada sebelumnya. Dilakukan pemberitaan yang berulang-ulang agar timbul rasa takut terhadap terorisme ini. Kemudian dikait-kaitkan pula dengan bom-bom sebelumnya.
Hasilnya, meskipun jumlah korbannya jauh lebih kecil dibanding dengan kasus lain, dibanding kecelakaan lalu lintas, misalnya, responnya berbeda. Bom Solo hanya menewaskan satu orang, itu pun pelakunya sendiri. Sedangkan pada kecelakaan lalu lintas mudik lebaran lalu saja setidaknya menelan 700 korban jiwa.
Lantas apa dampak monsterisasi ini ?
Ya, orang akan lebih takut mendengar kata “teroris” dibanding dengan mendengar “buruknya pelayanan dan sarana transportasi”. Padahal kalau kita mendasarkan pada Islam, terbunuhnya seorang manusia tanpa alasan yang benar, yang sesuai dengan syariah, sangat dikecam. Tidak melihat apakah itu masalah teroris atau bukan. Akibatnya kita kehilangan fokus untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang jauh lebih penting dari masyarakat seperti kemiskinan, pelayanan yang rendah terhadap kesehatan dan tranportasi lainnya. Yang korbannya bukan hanya ratusan orang, tapi puluhan juta rakyat!
Ada bahaya lain ?
Ketika isu terorisme menjadi monster, bisa digunakan untuk berbagai kepentingan, seperti pemulusan RUU intelijen atau penguatan program deradikalisasi.
Celakanya, ketika terorisme menjadi monster, tindakan apapun kemudian menjadi legal atas nama perang terhadap terorisme. Tidak ada lagi sikap kritis! Meskipun tidak ada bukti yang kuat, penangkapan, penyiksaan hingga pembunuhan terhadap pihak-pihak yang dituduh teroris pun seperti dimaklumi.
Termasuk pembenaran terhadap pasal-pasal  tertentu yang sangat berbahaya dalam RUU intelijen dengan alasan terorisme adalah bukan kriminal biasa (extraordinary crime)! Ini yang perlu kita waspadai.
Bagaimana hubungannya dengan penguatan  program deradikalisasi?
Ya kita melihat bom Solo juga digunakan untuk itu. Ada upaya yang jelas, mengaitkan tindakan terorisme dengan  ajaran-ajaran Islam yang penting seperti penegakan syariah Islam, kewajiban menegakkan negara Islam atau khilafah dan jihad fi sabilillah.
Padahal itu adalah ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunah. Ajaran Islam ini dianggap radikal, karena itu perlu dibuat program deradikalisasi. Yang tujuannya menjauhkan umat Islam dari kewajiban penegakan syariah Islam, khilafah, dan jihad fi sabilillah!
Untuk itu mereka  melakukan generalisasi seakan-akan siapapun yang setuju terhadap ajaran Islam yang penting itu (syariah, khilafah dan jihad)  adalah teroris. Sembari menutup fakta bahwa banyak dari gerakan Islam yang memperjuangkan syariah justru mengharamkan jalan kekerasan atau teror.
Hizbut Tahrir misalnya dengan tegas mengatakan wajib untuk menegakkan syariah Islam dan khilafah dengan cara dakwah, fikriyah (pemikiran) dan siyasiyah (politik). Dan mengharamkan kekerasan atau penggunaan senjata untuk menegakkan syariah dan khilafah Islam. Inilah yang dicontohkan Rasulullah SAW.
Terlepas dari bom Solo, mengapa Hizbut Tahrir keukeuh menentang RUU tersebut?
Yang paling mendasar adalah tidak ada definisi yang jelas tentang apa yang dimaksud frase “ancaman nasional” dan “keamanan nasional”, pengertiannya kabur dan multitafsir.  Begitu juga “lawan dalam negeri”, siapa dan kriterianya apa, tidak jelas.
Tentu banyak pasal-pasal lain terutama berkaitan dengan struktur badan intelijen, mekanisme kontrol terhadap lembaga ini, hal-hal yang berkaitan dengan penangkapan, penyadapan dan lain-lain. Intinya RUU inteligen ini  akan menjadi pintu bagi kembalinya rezim yang  represif  yang menggunakan intelijen untuk kepentingan penguasa.
Lantas kenapa bila tidak terdefinisi dengan jelas?
Pasal-pasal yang mengandung kata tersebut menjadi pasal karet yang dijadikan alat politik penguasa (political hammer). Jadi bila penguasa melihat ada oposisi atau pihak yang bersebrangan secara politik dengan penguasa maka penguasa bisa mempersepsikan bahwa mereka itu adalah ancaman.
Di samping itu, pasal karet ini juga bisa digunakan untuk membungkam upaya penegakan syariah Islam ketika penguasa secara sepihak karena kepentingan penjajah asing  menganggap bahwa syariah Islam itu merupakan ancaman bagi negara. Kemudian para pengembannya diperlakukan seperti halnya perlakuan terhadap orang-orang yang dituduh teroris oleh pemerintah.
Menurut Anda, sebenarnya apa sih yang sebenarnya berbahaya dan mengancam bangsa ini?
Tentu saja ideologi kapitalisme yang sedang diterapkan di negeri ini dan negeri-negeri Muslim lainnya.
Misal?
Dalam bidang ekonomi, implementasi dari ideologi ini adalah kebijakan ekonomi neoliberal sehingga menciptakan kemiskinan yang sistematis dan mengundang masuknya asing untuk merampok kekayaan alam milik rakyat.
Di bidang politik, kebijakan kapitalisme ini menjadi jalan bagi asing untuk menanamkan kepentingan politiknya di Indonesia. Timor Timur itu lepas. Papua dan Aceh bisa senasib. Kapitalisme menjadi ancaman bagi integrasi bangsa. Namun ini tidak tertulis sebagai ancaman dalam RUU Intelijen ini.
Dalam politik luar negeri siapa sebenarnya yang harus jadi musuh negara ?
Ya pihak-pihak yang selama ini melakukan tindakan terorisme negara, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan sekutu NATO-nya. Bukankah negara-negara imperialis ini yang telah membunuh jutaan nyawa manusia di dunia? Termasuk di Irak dan Afghanistan?
Bukankah negara-negara imperialis ini yang membuat berbagai konflik berdarah di dunia untuk kepentingan ekonomi mereka? Bukankah negara-negara ini juga yang mendukung rezim-rezim represif di negeri-negeri Islam yang membunuh rakyatnya sendiri ?
Bukankah negara ini yang mendukung negara zionis Yahudi  membunuh secara sistematis  umat Islam di Palestina. Jadi sesungguhnya negara ini harus secara tegas dicantumkan sebagai musuh negara dalam hubungan luar negeri!
Terakhir, mengapa penganut kapitalisme tidak suka syariah Islam tegak?
Karena mereka menyadari syariah Islam ini menjadi ancaman eksistensi penjajahan kapitalisme di dunia Islam termasuk di Indonesia. Karena tegaknya syariah Islam itu artinya penghentian penjajahan kapitalisme. Penghentian eksploitasi mereka atas kekayaan alam Indonesia, penghentian penguasaan politik mereka terhadap Indon

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More