PAHAM-PAHAM YANG MENYEBARLUAS DI INDONESIA
1. Pluralisme
Rene Guénon
Pelopor Filsafat Abadi
Pelopor Filsafat Abadi
Rene Guénon lahir di Blois, Perancis pada tanggal 15 November 1886.
Sejak umur 18 tahun ia sudah mulai mempelajari agama-agama Timur,
khususnya Hinduisme, Taoisme dan Islam. Tahun 1906 ia pergi ke Paris,
di sana ia masuk ke sekolah Free School of Hermetic Scienses yang
didirikan oleh Gerard Encausse, seorang tokoh freemason dan pendiri
masyarakat teosofi di Perancis.
Di sekolah ini Guénon intensif mengkaji hal-hal berbau mistis. Di
sekolah ini pula Guénon berkenalan denga sejumlah tokoh Freemason,
Teosofi dan berbagai gerakan spiritual lainnya. Guénon sangat tertarik
dengan gerakan-gerakan semacam ini, hingga ia aktif menggelar berbagai
kongres, seminar, diskusi, dan aktifitas tentang mistis dan freemason.
Ringkasnya freemason merupakan ketertarikan Guénon yang pa ling besar
sepanjang hidupnya. Karena bagi Guénon freemason adalah wadah dari
hikmah tradisional yang luas, dan kaya dalam simbolisme serta ritual.
Guénon juga yakin bahwa freemason adalah cara terbaik untuk menjaga
banyak aspek dari agama Kristen yang telah hilang dan terabaikan.
Tahun 1912 Guénon mulai tertarik dengan sufisme, dan akhirnya memeluk
Islam dengan nama Abd al-Wahid Yahya. Ia tetap gandrung terhadap
mistis. Tahun 1930 Guénon pergi ke Mesir untuk meneliti dan mempelajari
teks -teks sufi. Sejak itu ia menetap di Mesir hingga meninggal pada
tang gal 7 Januari 1951.
Pemikiran utama Guénon adalah filsafat abadi (perenialisme). Menurutnya
filsafat abadi adalah ilmu spiritual yang memiliki keutamaan dibanding
ilmu lainnya. Meskipun ilmu-ilmu lain harus tetap dicari, namun ia
hanya akan bermakna dan bermanfaat jika dikaitkan dengan ilmu spiritual
ini. Menurutnya substansi ilmu spiritual bersumber dari supranatural
dan transenden serta bersifat universal. Oleh sebab itu, ilmu tersebut
tidak dibatasi oleh suatu kelompok agama atau kepercayaan tertentu. Ia
adalah milik bersama semua agama dan kepercayaan yang ada.
Adapun perbedaan teknis yang terjadi pada setiap agama dan kepercayaan
merupakan jalan dan cara yang berbeda untuk merealisasikan “Kebenaran
yang satu”. Pebedaan ter sebut menurutnya sah-sah saja, karena setiap
agama me miliki cara yang unik untuk memahami Realitas Akhir. Maka se
bagai hasil dari pengalaman spiritualnya dalam gerakan teo sofi dan
freemason, Guénon menyimpulkan bahwa semua aga ma memiliki kebenaran
dan bersatu pada level batin (eso teris), sekalipun pada level lahir
(eksoteris) berbeda-beda.
Karena keyakinannya itu Guénon kemudian berusaha menghidupkan kembali
filsafat abadi yang menurutnya telah banyak hilang digerus arus
modernisasi. Tak heran jika Nasr me nyebut Guénon bersama dengan
Fritjhof Schuon dan Anan da Coomaraswamy sebagai Para Guru (The Mas
ters) da lam bidang filsafat abadi atau biasa disebut juga filsafat
perennial.
Karya-karyanya banyak ditulis dalam bahasa Perancis, sebagian telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Diantaranya: the symbolism of
the cross, the crisis of the modern world dan the multiple states of
being.
Selanjutnya pemikiran-pemikiran agama atau kepercayaan mengenai
Filsafat Abadi ini banyak diikuti oleh kaum Pluralis Agama. Salah
seorang yang paling terkenal adalah Fritjhof Schuon yang dikemudian
hari terkenal dengan teori Kesatuan Transenden Agama- agama.
Frithjof Schuon
Pengusung ide “Kesatuan Transenden Agama-agama”
Pengusung ide “Kesatuan Transenden Agama-agama”
Kesatuan Transenden Agamaagama” adalah salah satu teori besar dalam
wacana Pluralisme Agama. Tokoh utamanya adalah Frithjof Schuon, seorang
cendekiawan berkebangsaan Jerman yang oleh Seyyed Hossein Nasr dianggap
sebagai orang yang paling otoritatif dalam masalah ini. Dengan teorinya
itu Schuon yang kelahiran Basel, Swiss, tanggal 18 Juni 1907 ini
berkeyakinan bahwa sekalipun pada tataran luarnya agama berbeda-beda,
namun pada hakikatnya semua agama adalah sama. Dengan kata lain,
kesatuan agama-agama itu terjadi pada level transenden.
Keyakinan Schuon diatas berangkat dari pandangannya bahwa semua agama
mempunyai dua realitas atau hakikat, yaitu eksoteris dan esoteris.
Hakikat eksoteris adalah hakikat lahir, dimana pada level ini semua
agama memiliki dogma, hukum, ritual dan keyakinan yang berbeda-beda,
dan bahkan saling bertentangan. Sementara hakikat esoteris adalah
hakikat batin, dimana semua agama dengan segala perbedaan dan
pertentangannya tadi bertemu. Disinilah terletak titik temu agama-agama
itu. Jadi level eksoteris bagaikan ‘badan’ agama sementara level
esoteris adalah ‘hati’ dari agama. Level eksoteris berbeda-beda, namun
level esoteris adalah sama. Karena itulah Schuon menyebut teorinya ini
dengan ‘the transcendent unity of religions’ (kesatuan transenden
agama-agama).
Sehingga dengan demikian, dalam pandangan Schuon, semua agama
dipisahkan bukan dengan sebuah garis vertikal, tapi justru dengan
sebuah garis horizontal yang membelah semua agama. Garis itu tidak
memisahkan antara agama yang satu dengan agama lainnya, tapi memisahkan
antara le vel bawah (eksoteris) semua agama dengan level atas (esote
ris) nya. Semua ini menurut Schuon menunjukan bahwa yang mutlak atau
absolut dalam semua agama adalah dimensi esoterisnya. Sementara dimensi
eksoterisnya harus bersifat relative untuk berkoeksistensi dengan
agama-agama lainnya.
Dalam konteks pandangan Schuon terhadap keberagaman agama ini,
pernyataan tentang superioritas agama tertentu di atas yang lain secara
teoritis menjadi tidak relevan. Sebab semua agama adalah orisinil dan
berasal dari sumber yang sama. Namun disisi lain, keberagaman bentuk
luar (eksoteris) agama-agama tadi tidak boleh dirubah-rubah atau
dilebur (sinkretis), tapi harus dibiarkan apa adanya, karena titik temu
agama-agama bukan berada pada level itu, tapi berada pada level batin
(esoteris).
Menurut peneliti INSISTS, Adnin Armas, pemikiran Schuon tentang titik
temu agama-agama pada level esoteris ini secara konseptual masih
bermasalah. Sebab pada tingkat esoteris-pun terdapat perbedaan antara
Islam dengan agama-agama lainnya. Ini terbukti dari adanya ajaran Islam
yang menunjukan kesalahan-kesalahan agama lain, baik pada level
eksoteris maupun pada level esoteris.
Masih menurut Adnin, pemikiran Schuon ini juga agak sulit untuk
dimengerti karena merupakan produk dari pengalamannya ketika terlibat
dalam kehidupan agama-agama. Karenanya pengalaman itu bukanlah agama
itu sendiri sebab pengalaman seperti itu tidak dapat diturunkan kepada
manusia lainnya, ia hanya dapat diraih oleh orang-orang tertentu dari
setiap agama. Jadi kesatuan transenden agama-agama seperti itu tidak
dapat disebut sebagai agama, namun hanya merupakan pengalaman
keagamaan. Sehingga konsep Schuon itu menurut Adnin harusnya diubah
menjadi ‘Kesatuan transenden pengalaman-pengalaman keagamaan’.
Pengalaman Schuon dalam beragama memang cukup panjang. Awalnya ia
seorang Kristen, kemudian dikabarkan memeluk Islam dan berganti nama
menjadi Isa Nuruddin Ahmad al-Shadhili al-Darquwi al-Alwi al-Maryami.
Namun tidak terdapat banyak data mengenai kebenaran dan kapan persisnya
ia masuk Islam. Yang pasti, Schuon pernah berkunjung ke Aljazair dan
Afrika Utara, dan disana ia tertarik dengan sufisme, bahkan menjadi
murid Syaikh al-Alwi seorang syaikh sufi di sana-. Tiga tahun kemudian
Schuon kembali berkunjung ke Aljazair dan Maroko.
Schuon yang menikah tahun 1949 dengan seorang pelukis keturunan
Swiss-Jerman ini juga sempat mengunjungi India dan Mesir. Tak heran
jika karya-karya klasik dari timur seperti Upanishad, Bhagavad – Gita
dan Seribu Satu Malam sangat menarik perhatian dan mempengaruhi
pemikirannya. Schuon juga sempat berkunjung ke Amerika Barat atas
undangan teman mereka yang bersuku Indian Sioux dan Crow.
Tahun 1980 Schuon dan istrinya beremigrasi ke Indiana, Amerika Serikat.
Akhirnya ia meninggal dunia pada tahun 1998 di Bloomington dengan
meninggalkan 20-an lebih karya. Meskipun masih bermaslah, sayangnya,
pemikirannya dipuji dan diikuti oleh banyak intelektual bertaraf
internasional dan lintas agama.
John Hick
Penggagas Teologi Global
Penggagas Teologi Global
Menurut Dr. Anis Malik Thoha, Prof. John Hick merupakan tokoh terbesar
dan terpenting dalam wacana Pluralisme Agama. Sebab, da adalah orang
yang paling banyak menguras tenaga dan fikiran untuk mengembangkan,
menjelaskan dan menginterpretasikan gagasan dan teori ini secara masif.
Dengan usahanya inilah wacana pluralisme agama dapat dikenalkan kepada
masyarakat secara umum. Ia memiliki banyak karya, kebanyakan telah
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Lebih dari dua puluh buku
tentangnya telah diterbitkan dalam bahasa Inggris, Jerman, Perancis,
Cina dan Jepang.
Professor John Harwood Hick, lahir di Yorkshire, Inggris, tahun 1922,
mendapat gelar doktor dari Universitas Oxford dan Universitas
Edinburgh. Ia juga mendapat gelar doktor kehormatan dari Universitas
Uppsala dan Universitas Glasgow. Pernah menjabat Wakil Presiden the
British Society for the Philosophy of Religion and of the World
Congress of Faiths. Kisah hidupnya ditulis dalam sebuah buku berjudul
John Hick: An Autobiography (2002).
Teori pluralisme agama Hick bermula dari pandangannya terhadap
globalisasi. Menurutnya, seiring dengan arus globalisasi, maka secara
gradual akan terjadi proses penyatuan (konvergensi) cara-cara beragama,
sehingga pada suatu ketika agama-agama akan lebih menyerupai sekte
daripada entitas-entitas yang eksklusif secara radikal. Hick kemudian
menamakan agama yang telah bersatu itu dengan global theology (teologi
global).
Untuk mencapai hal itu Hick menawarkan sebuah gagasan yang ia sebuat
dengan, “Transformasi orientasi dari pemusatan ‘agama’ menuju pemusatan
‘Tuhan’ /The transformation from self-centredness to Reality –
centredness”. Teori Hick ini mengatakan bahwa agama-agama hanyalah
bentuk-bentuk yang beragam dan berbeda dalam konteks tradisi-tradisi
historis yang beragam di seluruh dunia. Ini semua terbentuk sebagai
akibat dari pengalaman spiritual manusia dalam merespon Realitas yang
absolut.
Realitas yang absolute itu menurut Hick adalah Tuhan yang sesungguhnya
yang ia sebut dengan istilah “The Real Yang Absolut”. Sementara
Tuhan-tuhan yang ada pada setiap agama dan kepercayaan, dianggap Hick
sebagai Tuhantuhan realtif karena hanya merupakan imej masing-masing
pemeluk agama terhadap The Real Yang Absolut tadi. Jadi The Real itu
pada dasarnya satu dan sama. Hanya saja ditangkap oleh pengalaman
manusia dengan berbagai konsep dan image menurut konteks-konteks
tradisional yang berbeda sehingga menghasilkan imej Tuhan yang
berbedabeda pula.
Dengan teori Hick ini maka terjadilah perubahan besar dalam semua
agama. Islam misalnya, yang sebelumnya merupakan satu-satunya jalan
keselamatan yang absolute, telah mengalami perubahan yang sangat besar
menjadi hanya satu dari sekian banyak jalan-jalan keselamatan yang ada.
Dengan demikian upaya mempermasalahkan benar (haq) dan salah (bathil)
terhadap agama-agama menjadi tidak lagi relevan dan tepat. Karena
dengan teorinya ini Hick hendak menegaskan bahwa jalan keselamatan
tidaklah tunggal dan monolitik, melainkan plural dan beragam sesuai
dengan jumlah tradisi-tradisi atau ajaran-ajaran yang ada. Hick sering
menggambarkan teorinya ini dengan menukil secara bebas perkataan
Jalaluddin Rumi, “The lamps are different, but the Light is the same.”
(Walaupun lampu-lampunya berbeda tapi Cahayanya sama). Dalam kitab suci
Hindu, Bhagavad Gita, Hick juga menemukan kalimat “Whatever path men
choose is mine” (Jalan apapun yang dipilih manusia adalah milik-Ku).
Teori Hick ini menurut Anis Malik Thoha sebetulnya sangatlah lemah.
Sebab jika Hick mengatakan bahwa Tuhan yang diyakini umat Islam dan
Tuhan yang diyakini pemeluk agama lain adalah sama relatifnya karena
merupakan respon yang berbeda-beda terhadap The Real, maka siapakah
yang menentukan bahwa Tuhan-tuhan itu relative?. Jika yang menentukan
itu adalah Hick sendiri, bukankah pemikiran Hick itu juga adalah
relative?. Jika kemudian Hick bersikeras mengatakan bahwa pandangannya
sendirilah yang benar secara absolute sementara pandangan lainnya
salah, maka runtuhlah teori Hick ini dengan sendirinya. Karena jika
Hick beranggapan demikian, maka orang lain pun berhak menga takan
pendapatnya yang benar.
Selain itu menurut Anis, Hick telah melakukan kebohongan intelektual
dengan mengutip perkataan Rumi sepotongsepotong, sehingga seolah-olah
mendukung gagasannya itu. Padahal jika dibaca secara utuh, perkataan
Rumi itu justru menegaskan bahwa terdapat perbedaan antara orang
beriman dan pemeluk agama lain. Sebab tulisan Rumi selanjutnya adalah,
“Dari pemandangan yang objektif, Wahai Yang Maha Wujud, lahirlah
perbedaan antara orang beriman yang sebenarnya dan orang Zoroaster dan
Yahudi.” (Lihat, Dr. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, 2006).
2. Liberalisme
Islam dan Liberalisme di Indonesia
Forum Freedom 36, 23 Januari 2006
Bagaimana kaum liberal Indonesia mengkaji berbagai masalah nyata
yang ada di tengah kita? Freedom Institute bekerja sama dengan radio
68H menyajikan Forum Freedom…
Hamid Basyaib:
Halo, selamat pagi saudara, Anda berjumpa lagi dengan saya Hamid Basyaib dalam acara Forum Freedom. Acara ini merupakan hasil kerja sama antara Freedom Institute dan Radio 68H dan dipancarkan ke beberapa puluh radio lain di seluruh Indonesia. Tamu kita pagi ini adalah Luthfi Assyaukanie. Selamat pagi, Luth.
Halo, selamat pagi saudara, Anda berjumpa lagi dengan saya Hamid Basyaib dalam acara Forum Freedom. Acara ini merupakan hasil kerja sama antara Freedom Institute dan Radio 68H dan dipancarkan ke beberapa puluh radio lain di seluruh Indonesia. Tamu kita pagi ini adalah Luthfi Assyaukanie. Selamat pagi, Luth.
Luthfi Assyaukanie:
Selamat pagi.
Selamat pagi.
Hamid Basyaib:
Luthfi, barui saja pulang dari Australia. Dia sekolah di University of Melbourne. Dia sudah menyelesaikan tesis dan disertasi PhD. Nah, disertasinya berhubungan dengan tema kita pagi ini, yaitu “Akar-akar Liberalisme di Dalam Islam”. Kebetulan Luthfi adalah direktur lembaga Religious Reform Project, satau lembaga baru yang disingkat Repro.
Luthfi, barui saja pulang dari Australia. Dia sekolah di University of Melbourne. Dia sudah menyelesaikan tesis dan disertasi PhD. Nah, disertasinya berhubungan dengan tema kita pagi ini, yaitu “Akar-akar Liberalisme di Dalam Islam”. Kebetulan Luthfi adalah direktur lembaga Religious Reform Project, satau lembaga baru yang disingkat Repro.
Saya akan mulai dengan proposisi yang sederhana yaitu bahwa Islam
sebagai sebuah sistem keyakinan mengklaim bahwa dia membawa ide
kebebaasan bagi manusia, terlepas dari jenis kelamin, ras, budaya, dan
lain sebagainya. Tetapi, kita lihat dalam sejarahnya, di tempat-tempat
di mana Islam menjadi agama yang dominan seringkali masyarakatnya
kurang menghargai kebebasan. Baik kebebasan berpikir, berpendapat atau
kebebsan yang lainnya. Juga cirinya adalah men-subordinasikan kaum
perempuan, membungkam hak asasi manusia dan tidak demokratis. Contohnya
terlalu banyak. Sampai hari ini kita bisa saksikan praktis di lebih
dari 20 negara di Timur Tengah yang didominasi oleh umat Muslim,
keadaannya HAM-nya selalu merupakan catatan yang buruk di mata
internasional.
Nah, melihat fenomena ini, banyak pemikir Islam yang menganggap bahwa
Islam tidak kompatibel atau tidak cocok dengan prinsip-prinsip HAM,
demokrasi, dan kebebasan. Mereka umumnya melihat Islam sebagai agama
yang sangat ketat dan kaku, dan tidak sesuai dengan nilai-nilai
masyarakat modern yang menjunjung tinggi pluralisme, toleransi,
kebebasan berpikir, dan lain sebagainya.
Saya akan mulai bertanya pada bung Luthfi. Anda menulis disertasi
mengenai tema ini, dan Islam dan liberalisme belakangan dianggap
sebagai dua hal yang saling bertentangan, baik oleh kalangan di luar
Islam maupun dari kalangan Islam sendiri. Nah, bagaimana pandangan Anda
menganai hal ini?
Luthfi Assyaukanie:
Sebelum kita membahas persoalan itu, sebenarnya istilah liberalisme itu adalah istilah yang ambigu dan cukup kontroversial. Dan, kalau kita berbicara tentang liberalisme, sebenarnya kita sedang mengidentifikasi suatu fenomena. Dan, fenomena tersebut adalah fenomena kebangkitan di dalam Islam. Dan, kebangkitan Islam itu sudah dimulai pada abad 19.
Sebelum kita membahas persoalan itu, sebenarnya istilah liberalisme itu adalah istilah yang ambigu dan cukup kontroversial. Dan, kalau kita berbicara tentang liberalisme, sebenarnya kita sedang mengidentifikasi suatu fenomena. Dan, fenomena tersebut adalah fenomena kebangkitan di dalam Islam. Dan, kebangkitan Islam itu sudah dimulai pada abad 19.
Pada 1950-an, ketika para sarjana Barat mualai mengaji Islam, mereka
agak kerepotan karena menemukan suatu fenomena yang menarik di dalam
pembaruan ini yang berbeda dari gerakan tajdid yang terjadi sebelumnya.
Tajdid adalah sesuatu yang baru, pembaruan atau membarukan
ajaran-ajaran Islam. Tentu saja tajdid ini sudah terjadi sejak lama,
sejak masa awal Islam. Mazhab-mazhab pemikiran Islam itu muncul karena
adanya pembaruan. Tetapi para sarjana modern menemukan kelainan cara
3. Kapitalisme
Umat
Islam selalu saja ditempatkan sebagai tertuduh oleh pihak Barat dan
pendukungnya setiap ada peristiwa pemboman dan lainnya. Ada proses
generalisasi yang sangat sistemik untuk mencitrakan Islam agar buruk di
mata warga dunia. Padahal kalau mau jujur, Islam sebenarnya belum bisa
berbuat banyak dalam kancah kehidupan dunia. Justru kapitalisme-lah
yang menjadikan dunia kian karut marut. Tapi kenapa tudingan justru ke
Islam? Untuk mengupasnya, wartawan Media Umat Joko Prasetyo
mewawancarai Ketua Lajnah Siyasiyah Dewan Pimpinan Pusat Hizbut Tahrir Indonesia Farid Wadjdi. Berikut petikannya.
Menurut Anda, mengapa SBY begitu sigap merespon isu terorisme dibanding kasus lainnya yang jauh lebih banyak memakan korban?
Karena isu teroris dapat digunakan untuk memperkuat posisinya dalam beberapa hal. Pertama, posisinya
di dunia internasional. SBY ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah
kepala negara yang sigap memerangi terorisme yang merupakan agenda
utama politik luar negeri Amerika.
Kedua, isu
terorisme ini sangat mungkin digunakan untuk mengalihkan
persoalan-persoalan yang sekarang ini sedang menimpa partai berkuasa,
yang merupakan partainya SBY sendiri.
Jadi kita lihat kesigapan SBY ini karena kasus ini memberikan keuntungan bagi SBY untuk memperkuat posisinya.
Apakah Anda juga melihat adanya monsterisasi kasus terorisme ini?
Upaya monsterisasi itu sangat jelas kita rasakan. Dan monsterisasi ini sangat penting dalam isu war on terorism (WOT). WOT tidak akan laku dijual kalau terorisme itu tidak dianggap sebagai sebuah ancaman yang besar.
Karena itu, penting membuat persepsi bahwa terorisme itu merupakan
ancaman yang sangat membahayakan. Untuk itu, ada beberapa hal yang bisa
dilakukan untuk monsterisasi itu, di antaranya dengan mengait-kaitkan
pelaku pemboman dengan kelompok-kelompok yang ada sebelumnya. Dilakukan
pemberitaan yang berulang-ulang agar timbul rasa takut terhadap
terorisme ini. Kemudian dikait-kaitkan pula dengan bom-bom sebelumnya.
Hasilnya, meskipun jumlah korbannya jauh lebih kecil dibanding dengan
kasus lain, dibanding kecelakaan lalu lintas, misalnya, responnya
berbeda. Bom Solo hanya menewaskan satu orang, itu pun pelakunya
sendiri. Sedangkan pada kecelakaan lalu lintas mudik lebaran lalu saja
setidaknya menelan 700 korban jiwa.
Lantas apa dampak monsterisasi ini ?
Ya, orang akan lebih takut mendengar kata “teroris” dibanding dengan
mendengar “buruknya pelayanan dan sarana transportasi”. Padahal kalau
kita mendasarkan pada Islam, terbunuhnya seorang manusia tanpa alasan
yang benar, yang sesuai dengan syariah, sangat dikecam. Tidak melihat
apakah itu masalah teroris atau bukan. Akibatnya kita kehilangan fokus
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang jauh lebih penting dari
masyarakat seperti kemiskinan, pelayanan yang rendah terhadap kesehatan
dan tranportasi lainnya. Yang korbannya bukan hanya ratusan orang, tapi
puluhan juta rakyat!
Ada bahaya lain ?
Ketika isu terorisme menjadi monster, bisa digunakan untuk berbagai
kepentingan, seperti pemulusan RUU intelijen atau penguatan program
deradikalisasi.
Celakanya, ketika terorisme menjadi monster, tindakan apapun kemudian
menjadi legal atas nama perang terhadap terorisme. Tidak ada lagi sikap
kritis! Meskipun tidak ada bukti yang kuat, penangkapan, penyiksaan
hingga pembunuhan terhadap pihak-pihak yang dituduh teroris pun seperti
dimaklumi.
Termasuk pembenaran terhadap pasal-pasal tertentu yang sangat
berbahaya dalam RUU intelijen dengan alasan terorisme adalah bukan
kriminal biasa (extraordinary crime)! Ini yang perlu kita waspadai.
Bagaimana hubungannya dengan penguatan program deradikalisasi?
Ya kita melihat bom Solo juga digunakan untuk itu. Ada upaya yang
jelas, mengaitkan tindakan terorisme dengan ajaran-ajaran Islam yang
penting seperti penegakan syariah Islam, kewajiban menegakkan negara
Islam atau khilafah dan jihad fi sabilillah.
Padahal itu adalah ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunah.
Ajaran Islam ini dianggap radikal, karena itu perlu dibuat program
deradikalisasi. Yang tujuannya menjauhkan umat Islam dari kewajiban
penegakan syariah Islam, khilafah, dan jihad fi sabilillah!
Untuk itu mereka melakukan generalisasi seakan-akan siapapun yang
setuju terhadap ajaran Islam yang penting itu (syariah, khilafah dan
jihad) adalah teroris. Sembari menutup fakta bahwa banyak dari gerakan
Islam yang memperjuangkan syariah justru mengharamkan jalan kekerasan
atau teror.
Hizbut Tahrir misalnya dengan tegas mengatakan wajib untuk menegakkan
syariah Islam dan khilafah dengan cara dakwah, fikriyah (pemikiran) dan
siyasiyah (politik). Dan mengharamkan kekerasan atau penggunaan senjata
untuk menegakkan syariah dan khilafah Islam. Inilah yang dicontohkan
Rasulullah SAW.
Terlepas dari bom Solo, mengapa Hizbut Tahrir keukeuh menentang RUU tersebut?
Yang paling mendasar adalah tidak ada definisi yang jelas tentang apa
yang dimaksud frase “ancaman nasional” dan “keamanan nasional”,
pengertiannya kabur dan multitafsir. Begitu juga “lawan dalam negeri”,
siapa dan kriterianya apa, tidak jelas.
Tentu banyak pasal-pasal lain terutama berkaitan dengan struktur badan
intelijen, mekanisme kontrol terhadap lembaga ini, hal-hal yang
berkaitan dengan penangkapan, penyadapan dan lain-lain. Intinya RUU
inteligen ini akan menjadi pintu bagi kembalinya rezim yang represif
yang menggunakan intelijen untuk kepentingan penguasa.
Lantas kenapa bila tidak terdefinisi dengan jelas?
Pasal-pasal yang mengandung kata tersebut menjadi pasal karet yang dijadikan alat politik penguasa (political hammer).
Jadi bila penguasa melihat ada oposisi atau pihak yang bersebrangan
secara politik dengan penguasa maka penguasa bisa mempersepsikan bahwa
mereka itu adalah ancaman.
Di samping itu, pasal karet ini juga bisa digunakan untuk membungkam
upaya penegakan syariah Islam ketika penguasa secara sepihak karena
kepentingan penjajah asing menganggap bahwa syariah Islam itu
merupakan ancaman bagi negara. Kemudian para pengembannya diperlakukan
seperti halnya perlakuan terhadap orang-orang yang dituduh teroris oleh
pemerintah.
Menurut Anda, sebenarnya apa sih yang sebenarnya berbahaya dan mengancam bangsa ini?
Tentu saja ideologi kapitalisme yang sedang diterapkan di negeri ini dan negeri-negeri Muslim lainnya.
Misal?
Dalam bidang ekonomi, implementasi dari ideologi ini adalah kebijakan
ekonomi neoliberal sehingga menciptakan kemiskinan yang sistematis dan
mengundang masuknya asing untuk merampok kekayaan alam milik rakyat.
Di bidang politik, kebijakan kapitalisme ini menjadi jalan bagi asing
untuk menanamkan kepentingan politiknya di Indonesia. Timor Timur itu
lepas. Papua dan Aceh bisa senasib. Kapitalisme menjadi ancaman bagi
integrasi bangsa. Namun ini tidak tertulis sebagai ancaman dalam RUU
Intelijen ini.
Dalam politik luar negeri siapa sebenarnya yang harus jadi musuh negara ?
Ya pihak-pihak yang selama ini melakukan tindakan terorisme negara,
seperti Amerika Serikat, Inggris, dan sekutu NATO-nya. Bukankah
negara-negara imperialis ini yang telah membunuh jutaan nyawa manusia
di dunia? Termasuk di Irak dan Afghanistan?
Bukankah negara-negara imperialis ini yang membuat berbagai konflik
berdarah di dunia untuk kepentingan ekonomi mereka? Bukankah
negara-negara ini juga yang mendukung rezim-rezim represif di
negeri-negeri Islam yang membunuh rakyatnya sendiri ?
Bukankah negara ini yang mendukung negara zionis Yahudi membunuh
secara sistematis umat Islam di Palestina. Jadi sesungguhnya negara
ini harus secara tegas dicantumkan sebagai musuh negara dalam hubungan
luar negeri!
Terakhir, mengapa penganut kapitalisme tidak suka syariah Islam tegak?
Karena mereka menyadari syariah Islam ini menjadi ancaman eksistensi
penjajahan kapitalisme di dunia Islam termasuk di Indonesia. Karena
tegaknya syariah Islam itu artinya penghentian penjajahan kapitalisme.
Penghentian eksploitasi mereka atas kekayaan alam Indonesia,
penghentian penguasaan politik mereka terhadap Indon
0 komentar:
Posting Komentar